08 March 2013

Mereka Yang Meninggal di Usia Muda (5)

6.  Chairil Anwar (1922 – 1949)


Chairil Anwar atau yang dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” Lahir di Medan, 22 Juli 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.

Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Penyair yang satu ini memang fenomenal  dan kontroversial. Saat pengaruh Angkatan Pujangga Baru belum surut, sejak 1942, Chairil Anwar sudah mendobrak tata tertib berpuisi. Dalam puisi-puisinya, Chairil memperkenalkan aliran ekspresionisme dalam sastra. Walhasil, puisi-puisinya terkesan penuh tenaga dan radikal untuk masanya. Tengok saja puisinya yang terkenal: “Aku”. Kendati Chairil anwar tidak pernah tamat MULO (SMP), secara otodidak ia mendalami bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman, sehingga karya-karya para pujangga besar seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron.mampu dicernanya. Penulis-penulis ini sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung memengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Dari karya-karya orang asing itu, Chairil lalu menerjemahkan, menyadur, bahkan membuat karya baru. Mungkin karna itulah ia kadang dituding “penjiplak”. Jiwa patriotiknya terlihat dalam karya “Antara Kerawang dan Bekasi”, “Diponegoro”, serta “1945”. “Doa Untuk Isa” seolah mewakili sisi religiusnya. Adapun “Aku” mencerminkan sikap tidak peduli. Ia memang sosok yang kompleks.

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil meninggal di Jakarta, tanggal 28 April 1949 (pada usia 27 tahun) karena penyakit TBC. Kepeloporannya diteguhkan oleh H.B. Jassin pada Tahun 1956 dalam bukunya yang berjudul “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45”.
Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.


7. Robert Wolter Mongisidi (1925-1949)


Robert Wolter Mongisidi lahir pada 14 Februari 1925 di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. Ia adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia. Robert Wolter Mongisidi merupakan anak dari pasangan Petrus Monginsidi dan Lina Suawa.

Dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School (HIS)), yang diikuti sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)) di Frater Don Bosco di Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Monginsidi terlibat dalam perjuangan melawan Belanda di Makassar, dimana Belanda hendak merebut kembali kemerdekaan Indonesia melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda) setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta.

Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya melecehkan dan menyerang posisi Belanda. Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947. Belanda menangkapnya kembali dan kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak di Makasar, Sulawesi Selatan pada 5 September 1949.

Robert Wolter Mongisidi meninggal pada usia 24 tahun. Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950. Robert Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973. Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut.

Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan kepada Monginsidi, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi.


8. Ignatius Slamet Rijadi (1927-1950)


Pada suatu peristiwa saat akan diadakannya peralihan kekuasaan di Solo oleh Jepang yang dipimpin oleh Sutjokan (Walikota) Watanabe yang merencanakan untuk mengembalikan kekuasaan sipil kepada kedua kerajaan yang berkedudukan di Surakarta, yaitu Kasunanan dan Praja Mangkunagaran, akan tetapi rakyat tidak puas. Para pemuda telah bertekad untuk mengadakan perebutan senjata dari tangan Jepang, maka rakyat mengutus Muljadi Djojomartono dan dikawal oleh pemuda Suadi untuk melakukan perundingan di markas Kempeitai (polisi militer Jepang) yang dijaga ketat. Tetapi sebelum utusan tersebut tiba di markas, seorang pemuda sudah berhasil menerobos kedalam markas dengan meloncati tembok dan membongkar atap markas Kempeitai, tercenganglah pihak Jepang, pemuda itu bernama Slamet Rijadi.

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Ignatius Slamet Rijadi (EYD: Riyadi) lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Juli 1927. Ia anak dari Idris Prawiropralebdo, seorang perwira anggota legiun Kasunanan Surakarta. Ia sangat menonjol dalam kecakapan dan keberaniannya, terutama setelah Jepang bertekuk lutut dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Ia merupakan pencetus pasukan khusus TNI yang dikemudian hari dikenal dengan nama Kopassus.

Pada tahun 1940, ia menyelesaikan pendidikan di HIS, ke Mulo Afd. B dan kemudian dilanjutkan ke Pendidikan Sekolah Pelayaran Tinggi, dan memperoleh ijasah navigasi laut dengan peringkat pertama dan mengikuti kursus tambahan dengan menjadi navigator pada kapal kayu yang berlayar antar pulau Nusantara.

Slamet Riyadi merupakan pengantin baru, istrinya Ny. Soerachmi bagian kesehatan TNI-AD, baru saja dinikahi saat cuti operasi menumpas RMS. Sayangnya pada saat operasi tersebut ia meninggal akibat tembakan pasukan payung KNIL (salah satu pasukan RMS) di benteng Victoria, Ambon, pada saat merebutnya.

Ada 2 versi tertembaknya:
  1. Satu tembakan sniper selanjutnya Slamet Riyadi diseret ajudannya dan naik jip dilanjutkan sampan ke KRI yang menjadi klinik.
  2. Diberondong senapan mesin, selanjutnya 1 panser mengevakuasi ke sampan dan dibawa ke KRI yang menjadi klinik.
Saat sampai di KRI, Slamet Riyadi masih hidup tapi tidak sadar dan dalam kondisi kritis. Beliau meninggal pada  4 November 1950, di Ambon, Maluku (pada umur 23 tahun).



COMMENTS